Jakarta WIPNET – Baru-baru ini, masyarakat dihebohkan oleh isu yang menyebutkan bahwa kendaraan dengan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) yang mati selama dua tahun akan langsung disita oleh negara saat terkena tilang. Namun, Korlantas Polri dengan tegas membantah isu tersebut dan memastikan bahwa informasi itu adalah hoaks.
Direktur Penegakan Hukum Korlantas Polri, Brigjen Raden Slamet Santoso, menegaskan bahwa tidak ada aturan baru terkait penyitaan kendaraan yang terkena tilang. “Bisa dikatakan seperti itu (hoaks),” ujarnya saat dikonfirmasi, Minggu (16/3/2025). Ia menjelaskan bahwa sistem tilang masih mengandalkan tilang elektronik (ETLE) dalam berbagai bentuk, baik statis maupun mobile.
Sementara itu, perdebatan mengenai kebijakan pengelolaan aset kendaraan yang tidak diperpanjang terus berlanjut, terutama dalam konteks hukum yang lebih luas. Dalam sistem hukum Indonesia, perampasan aset hanya bisa dilakukan dalam konteks pidana dan harus melalui putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, sebuah aset hanya dapat dirampas jika terbukti berkaitan dengan tindak pidana dan telah melalui proses peradilan.
Di sisi lain, polemik ini semakin menyoroti keberadaan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset yang hingga kini belum juga disahkan. RUU ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terkait perampasan aset hasil tindak pidana, terutama dalam kasus korupsi dan kejahatan berat lainnya. Sayangnya, meskipun sudah lama dibahas, RUU ini masih terkatung-katung dalam proses legislasi tanpa kepastian kapan akan disahkan.
Ketiadaan regulasi yang tegas mengenai perampasan aset membuat berbagai spekulasi berkembang di masyarakat. Jika aturan mengenai STNK mati dua tahun benar-benar diterapkan tanpa dasar hukum yang kuat, maka kebijakan tersebut bisa dianggap sewenang-wenang dan bertentangan dengan prinsip keadilan hukum. Oleh karena itu, lebih baik pemerintah dan DPR segera merampungkan pembahasan RUU Perampasan Aset agar ada kejelasan hukum dalam pengelolaan aset negara.
Masyarakat diharapkan tetap waspada terhadap informasi yang belum terverifikasi dan tidak mudah percaya terhadap isu yang belum terbukti kebenarannya. Kejelasan hukum sangat dibutuhkan agar kebijakan yang diambil tidak menimbulkan polemik dan tetap sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku. (red MR)