Oleh: Rev. Dr. Sahala Martua Solin, M.Th., S.H., CLAP.
WIPNET, Jum’at, (17/10/2025) – Situs Banu Harhar di wilayah Simsim, Pakpak Bharat, Sumatera Utara bukan sekadar hamparan tanah leluhur, tetapi simbol sejarah, spiritualitas, dan jati diri suku Pakpak. Dari tempat inilah akar budaya, sistem kekerabatan, dan tata hukum adat berkembang menjadi bagian penting dari eksistensi masyarakat Pakpak hingga kini. Banu Harhar dikenal sebagai asal mula suku Pakpak Simsim, yang diatur oleh lembaga adat tertua bernama Sortagiri — kakak beradik menjadi tiga marga utama: Padang, Berutu, dan Solin.
Kini, Banu Harhar kembali menjadi perhatian publik setelah lembaga adat Sortagiri menyatakan dukungan resmi terhadap pembentukan Batalyon 908, sebuah satuan infanteri baru yang akan ditempatkan di tanah ulayat mereka. Dukungan ini menandai bentuk sinergi unik antara adat dan negara, dua entitas yang sering kali berjalan terpisah, kini bersatu untuk tujuan bersama: pertahanan dan ketahanan pangan nasional.
Menjaga Hak Ulayat di Tengah Pembangunan
Dalam pandangan masyarakat Pakpak, tanah ulayat bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi identitas dan warisan spiritual. Wilayah Simsim adalah salah satu Suak Suku Pakpak, secara historis dimiliki secara komunal oleh tiga marga Sipajek Rube—Padang, Berutu, dan Solin—yang dikenal sebagai pemangku ulayat Sortagiri. Prinsip ini masih dipegang teguh hingga kini.
Menurut adat, tanah ulayat tidak boleh diperjualbelikan atau dikuasai secara individual, melainkan digunakan untuk kesejahteraan bersama berdasarkan musyawarah adat. Karena itu, dukungan Sortagiri terhadap pembangunan Batalyon 908 tidak berarti menyerahkan tanah kepada pihak lain, tetapi memberikan izin penggunaan dengan komitmen adat dan budaya yang kuat.
Sortagiri tetap menjaga kedaulatan ulayat. Kami mendukung negara, tetapi dengan syarat nilai-nilai adat dan kearifan lokak dihormati, ujar salah satu Pinempar Sortagiri dalam pernyataan resminya.

Batalyon 908 dan Semangat Kolaborasi Adat–Negara
Batalyon 908 akan berdiri di atas lahan 50 hektare di Kuta Jungak (Banu Harhar) dan 50 hektare di Binanga Boang, keduanya berada di wilayah Kabupaten Pakpak Bharat. Tujuan pembentukan satuan ini bukan hanya menjaga keamanan wilayah perbatasan, tetapi juga membantu masyarakat dalam program ketahanan pangan.
Dukungan Sortagiri terhadap proyek strategis ini dilandasi keyakinan bahwa pembangunan tidak boleh bertentangan dengan adat, melainkan memperkuatnya karakter kearifan lokal etnis Pakpak. Salah satu bentuk penghormatan tersebut adalah permintaan agar nama batalyon mencerminkan identitas Pakpak.
Sortagiri menolak nama “Gajah Dompak” karena tidak memiliki akar budaya di wilayah tersebut. Mereka mengusulkan alternatif seperti “Rempu Riar”, “Pertaki”, atau “Sortagiri”—nama yang dinilai lebih merepresentasikan semangat dan jati diri masyarakat Pakpak Suak Simsim.
Sikap ini menunjukkan bagaimana lembaga adat lokal dapat berperan aktif dalam mengawal proyek nasional tanpa kehilangan nilai-nilai lokalitas. Dalam era modern, kolaborasi semacam ini menjadi model ideal bagi pembangunan inklusif berbasis kearifan lokal.

Pelestarian Budaya: Identitas yang Tidak Boleh Hilang
Dukungan Sortagiri tidak hanya soal pertahanan negara, tetapi juga tentang menjaga nilai-nilai leluhur. Suku Pakpak dikenal memiliki beragam tradisi seperti adat njahat, adat mendhe, serta ritual persintabien, yang menjadi simbol penghormatan terhadap leluhur dan tanah.
Sortagiri menekankan bahwa sebelum pembangunan dimulai, tata cara adat harus dijalankan. Hal ini bukan formalitas semata, tetapi bentuk komunikasi spiritual dengan leluhur agar setiap langkah pembangunan membawa berkat, bukan konflik.

Dalam konteks ekologi, masyarakat Pakpak juga dikenal arif dalam menjaga alam. Mereka melarang penebangan sembarangan di hutan kemenyan Siempat Rube, dan mengelola tanah secara lestari. Semangat inilah yang diharapkan turut menginspirasi kehadiran Batalyon 908—pembangunan yang menghormati alam, budaya, dan manusia.
Sikap Tegas Sortagiri terhadap Pelanggaran Adat
Namun, harmoni ini sempat terusik oleh insiden yang melibatkan seorang individu, menurut keterangannya diduga melakukan tindakan provokatif di lokasi Batalyon 908. Ia merobek dan memakan gatap persintabien—sirih simbol perdamaian adat—yang diletakkan oleh Sortagiri di situs Banu Harhar.
Tindakan tersebut dianggap melecehkan adat dan martabat suku Pakpak, sekaligus bentuk pengingkaran terhadap hak ulayat Sortagiri. Menanggapi hal ini, Sortagiri menyatakan sikap tegas menolak klaim eksternal atas tanah adat Simsim, dan siap mempertahankan hak tanah ulayat sesuai ketentuan hukum adat yang dahulu ditegakkan.
“Kami menuntut permintaan maaf terbuka di hadapan Pinempar Sortagiri dan masyarakat Suak Simsim. Tidak ada ruang bagi provokasi terhadap tanah leluhur”, tegas pernyataan resmi Sortagiri.
Menjaga Keseimbangan antara Adat, Budaya, dan Negara
gerakan tulus bahwa Banu Harhar dan dukungan Sortagiri terhadap Batalyon 908 memberi pelajaran penting bagi Indonesia: pembangunan tidak boleh meminggirkan adat, tetapi harus berjalan bersamanya.
Ketika negara menghormati kearifan lokal, dan masyarakat adat membuka diri terhadap pembangunan strategis, maka lahirlah model pembangunan yang berbudaya, berdaulat, berakar, dan berkeadilan.
Sortagiri telah menunjukkan bahwa adat bukan penghalang kemajuan, melainkan penjaga moralitas pembangunan. Melalui dukungan bijaksana ini, Banu Harhar bukan hanya menjadi tapak berdirinya Batalyon 908, tetapi juga simbol harmoni antara budaya leluhur dan semangat kebangsaan.
Salam Literasi yang Mengedukasi.
Referensi:
- Tegas! Pinempar Sortagiri Kunci Tanah Ulayat Banu Harhar. Medianasionalpotret.com, 15 Oktober 2025.
- Pinempar Sortagiri Tegaskan Bahwa Marga Padang, Berutu dan Solin Adalah Pemangku Tanah Ulayat Kawasan Banu Harhar Suak Simsim. Agaranews.com, 15 Oktober 2025.
- Sekda Hadiri Peletakan Batu Pertama Pembangunan Monumen Sortagiri. Pakpakbharatkab.go.id, 13 Juni 2021.
- Sumber Foto dari WA Julkarnaen Berutu dan Group WA Etnis Pakpak.
- Solin, Sahala M., SEJARAH PAKPAK, Kajian Asal Mula Ni Pakpak dan Budayana Berdasarkan Aksara Pakpak, Bandung: Penerbit GENESIMO, 2025.