Mengingat Kembali Mafia Peradilan oleh Oknum Penegak Hukum di Sumedang Tahun 2016

Bagikan ke :

Sumedang, WIPNET – Pada Mei 2016, terjadi kasus ketidakadilan dan dugaan pemerasan yang melibatkan oknum penegak hukum dari kepolisian, kejaksaan, hingga hakim, terhadap seorang korban berinisial MR (kini berusia 51 tahun). MR dipaksa untuk mengakui tindakan pemalsuan data yang mencakup pembuatan salinan Potocopy Kartu Keluarga (KK), KTP, dan stempel sebanyak 27 buah, yang diduga digunakan untuk meloloskan pengajuan kredit motor dengan pihak Adira Finance. (Rabu, 26/02/2025).

Dalam pemeriksaan kepolisian, MR dimintai keterangan mengenai dugaan keterlibatannya dalam kasus tersebut. Namun, MR membantah karena pada saat itu ia mengaku selalu berada di Bandung untuk mengerjakan pekerjaan percetakan. Kasus ini bermula dari laporan Adira Finance yang merasa dirugikan oleh sejumlah oknum pegawai leasing Adira Finance hingga lebih dari Rp 1 miliar.

MR membantah terlibat dalam pemalsuan data tersebut, termasuk salinan Potocopy KTP, KK, dan stempel. Menurut keterangan dari tersangka lain, P, yang merupakan pegawai Adira Finance Tanjungsari, justru stempel itu dibuat oleh pihak leasing. Sementara itu, data Potocopy KTP dan KK yang dipalsukan diduga dikerjakan oleh pegawai MR bernama DN, karena MR sendiri jarang berada di Toko Percetakan Talun, Sumedang.

Dalam pernyataan polisi, MR mengakui bahwa pegawainya di percetakan kadang-kadang membuat salinan photocopy data tanpa izin, yang baru diketahuinya sebagai perbuatan melawan hukum. Namun, akibat tindakan pegawainya dan oknum leasing Adira, MR justru divonis hukuman 4 bulan penjara berdasarkan Pasal 35 UU Fidusia No. 42 Tahun 1999. Meski pegawai MR yang diduga terlibat TIDAK DIJERAT HUKUM, padahal bisa dikenakan Pasal 55 KUHP.

MR merasa mendapat tekanan dari Kanit Reskrim berinisial AJ. Menurut MR, AJ mengancamnya jika tidak mengakui tuduhan tersebut dengan mengatakan, “Mun maneh teu ngaku, ku aing bakal diungkap kasus nu lainna,” ujar AJ saat MR berada di dalam mobil reskrim dengan tangan diborgol.

Setelah kejadian tersebut, hidup MR terguncang. Beban hutang ratusan juta menimpanya, emosional dan moralnya terganggu, bahkan sang istri menggugat cerai setelah MR keluar dari penjara. “Sekali masuk penjara, apapun alasannya, efeknya buruk dan tak ada yang menganggap baik,” ungkap MR.

MR menduga ancaman dari AJ adalah kode untuk meminta uang suap. Atas dasar itu, istrinya menyerahkan uang dengan kode “10 kilo ubi” lewat seorang perantara, Ibu P, kepada penyidik berinisial A.

Di ranah kejaksaan, MR juga menyaksikan indikasi permainan mafia peradilan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) DW dan Kasi Pidum E diduga melakukan negosiasi dengan hakim DD. Pada saat itu, istri MR berhasil menurunkan biaya perkara dari 70.000.000,- menjadi 60.000,0000,- karena MR sendiri tengah berada dalam tahanan.

Kini, MR berharap agar keadilan ditegakkan dan praktek mafia peradilan yang menjadikan proses hukum sebagai “ATM” bagi oknum tertentu dapat dihentikan. Ia juga mengimbau para pelaku untuk bertaubat selagi hidup, berharap keadilan dapat berjalan tanpa permainan uang dan pemerasan. (sarmento)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *