Bekasi – WIPNET. Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) Kota Bekasi 2024 belum sepenuhnya usai,
pasalya Pasangan Calon (Paslon) Nomor Urut 1 Heri Koswara dan Sholihin (Risol)
telah mengajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Wali Kota Bekasi tahun
2024 ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca Juga :
- Sepanjang Tahun 2024 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Di Kabupaten Bekasi Terjadi 46 Kasus
- Akhir Pelarian Sopir Angkot Bengis Pembunuh Istri di Ciwastra
- Kata Tetangga soal Ibu Muda yang Tewas di Kontrakan Ciwastra
Tertuang dalam Akta Pengajuan Permohonan Pemohon Elektronik Nomor:
224/PAN.MK/e-AP3/12/2024, Paslon 01 memberikan kuasa kepada Zainudin Paru dkk
pada tanggal 9 Desember 2024. Sementara permohonan Paslon ini dilayangkan pada
tanggal 10 Desember 2024 pukul 19:10 WIB.
Pada kesempatan ini DPD LSM LIRA Indonesia Kota Bekasi menghimbau seluruh
stakeholders dan masyarakat Kota Bekasi untuk sabar menunggu hasil gugatan
sengketa pilkada yang dilayangkan oleh salah satu paslon.
Abudin selaku Sekretaris Daerah LIRA Kota Bekasi menghimbau kepada stakeholders
dan seluruh masyarakat Kota Bekasi untuk bersabar menunggu proses pilkada dan
tidak menyalahkan pihak penyelenggara (KPU Kota Bekasi-red) maupun Pemerintah
Kota Bekasi atas rendahnya partisipasi pemilih pada, Kamis (12/12/2024) di Caffe Noah
JI.Ir.H. Juanda No.35-28, Duren Jaya, Bekasi Timur.
“Sabar dulu. Pilkada belum selesai karena salah satu Paslon telah
melayangkan gugatan. Kita tunggu dulu hasilnya ya. Terus stakeholders juga jangan
pada menyalahkan penyelenggara dan Pemerintah Kota Bekasi akibat rendahnya
partisipasi yang hanya 55.81 persen” kata Abudin.
Sementara itu Agung Lesmana selaku Wakil Wali Kota LIRA Bekasi menambahkan
bahwa organisasinya telah melakukan riset dan kajian terhadap perilaku konstituen
pada Pilkada kali ini yang menyebabkan rendahnya partisipasi pemilih.
Menurutnya,faktor-faktor yang mempengaruhi rendahnya tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada Kota Bekasi 2024 meliputi, kejenuhan politik, durasi kampanye, waktu persiapan penyelenggara, cuaca buruk, dan jumlah TPS yang sedikit.
“Kami menemukan adanya indikasi masyarakat mengalami kejenuhan politik karena pelaksanaan pilkada hanya berselisih delapan bulan dari pemilu. Kemudian durasi kampanye pilkada yang pendek hanya sekitar dua bulan, ini yang mengakibatkan kandidat tidak cukup waktu untuk mengajak pemilih ke tempat pemungutan suara (TPS). Selain itu secara objektif kami mengamati waktu persiapan KPU yang cukup singkat dalam menggelar tahapan pilkada juga menjadi faktor. Apalagi, jarak antara pendaftaran calon kepala daerah dengan pemungutan suara hanya sekitar tiga bulan.
Dibeberapa daerah misalnya di Jatiasih diguyur hujan deras saat waktu pencoblosan dengan kata lain mengalami cuaca buruk. Dan yang tak kalah penting jumlah TPS lebih sedikit dibanding pilpres dan pileg sehingga jarak rumah sebagian pemilih dengan TPS relatif jauh, menjadi penyebab enggannya pemilih datang ke TPS,”ungkap Lesmana.
Pria tambun yang terlihat energik ini melanjutkan, anggaran 90,8 milyar untuk penyelenggaraan Pilkada yang banyak dikritisi aktivis di Kota Bekasi harusnya dikaji terlebih dahulu secara komprehensif jangan parsial.
“Anggaran 90,8 milyar itu kan untuk seluruh keperluan penyelenggaraan pilkada,bukan hanya diperuntukan keseluruhannya sosialisasi ke masyarakat. Jadi tidak perlu lah kiranya rendahnya angka partisipasi pemilih dikaitkan dengan tidak maksimalnya penyelenggara mengelola anggaran sebesar itu. Apalagi kita tahu tetangga dekat kita Jakarta partisipasi pemilihnya hanya 58% merosot drastis dari pilkada DKI tahun 2017yang tembus diangka 70%,” pungkasnya. ROBERT ST